Kriteria pertama,
barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan
kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi
secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika
mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan
pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di
muka dan sisanya dibayarkan di belakang.
Kriteria kedua,
barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik
pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si
pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang
tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada
bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan
lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh
melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun
sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas
di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak
ketiga, (2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)
Jika salah satu dari dua syarat di
atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh
jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum
menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama
dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ
الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ
الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada
kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang
sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.”
(HR. Muslim no. 1527)
Atau bisa jadi terjerumus dalam riba
karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk
keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya
keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Ilmunya bermanfaat, mohon untuk menyebar 1 kebaikan apa saja ke yang lain, direkomendasikan untuk bersedekah berapapun jumlahnya, semoga ke depan urusannya semakin dipermudah. Jika ingin berpartisipasi dalam amal jariah dengan menyebar kebaikan dan hal positif lainnya, atau mentraktir segelas kopi dapat mengirimkan Donasinya ke Rek BSI 7052259422 an S***** M******. Jazakallah Khairan Katsiraa