Masalah: Jual Beli
yang Dilakukan oleh Anak Kecil
Perlu diketahui bahwa anak kecil tidak lepas dari dua keadaan:
Masalah: Jual Beli
yang Dilakukan oleh Anak Kecil
Perlu diketahui bahwa anak kecil tidak lepas dari dua keadaan:
Jual beli sama seperti amalan lainnya memiliki syarat yang perlu diperhatikan sehingga bisa membuat jual beli tersebut sah. Syarat dalam jual beli sendiri mencakup: (1) syarat yang berkaitan dengan penjual dan pembeli, dan (2) syarat yang berkaitan dengan barang atau alat tukar jual beli.
Yang perlu dikenal lebih awal dalam jual beli adalah mengenai ijab qobul. Dalam ijab qobul berarti ada yang menyatakan menjual dan ada yang menerima. Apakah bentuknya harus dalam ucapan (perkataan) ataukah boleh pula hanya sekedar perbuatan tanpa kata-kata?
Hukum asal jual beli adalah halal dan boleh. Hal ini didukung dari dalil Al Kitab, As Sunnah, ijma’ serta qiyas.
Dalam Al Qur'an, Allah berfirman,
Dari definisi ini, jual beli berbeda dengan hibah. Hibah adalah memiliki sesuatu tanpa adanya timbal balik dan hibah diberikan ketika hidup.
Ada berbagai macam definisi mengenai al bai' atau jual beli. Namun definisi yang paling mendekati sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Qudamah,
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Imam Al Mawardi, salah seorang ulama besar Syafi’i berpendapat bahwa yang paling diberkahi adalah bercocok tanam karena tawakkalnya lebih tinggi. Ulama Syafi’iyah lainnya yaitu Imam Nawawi berpendapat bahwa yang paling diberkahi adalah pekerjaan dengan tangan, dan bercocok tanam yang lebih baik dengan tiga alasan, yaitu termasuk pekerjaan dengan tangan, tawakkal seorang petani itu tinggi dan kemanfaatannya untuk orang banyak, termasuk pula manfaat untuk binatang dan burung.
Mata pencaharian yang disebutkan kedua yang terbaik adalah jual beli yang mabrur.
Ash Shon'ani berkata bahwa yang dimaksud jual beli yang mabrur adalah jual beli yang tidak ada sumpah dusta sekedar untuk melariskan dagangan, begitu pula yang selamat dari tindak penipuan.[1]
Yang pertama kali disinggung mengenai pekerjaan terbaik adalah pekerjaan dari hasil kerja tangan sendiri. Dalam hadits lain disebutkan,
Kasb yang dimaksud dalam hadits di atas adalah usaha atau pekerjaan mencari rezeki. Asy Syaibani mengatakan bahwa kasb adalah mencari harta dengan menempuh cara yang halal. Sedangkan kasb thoyyib, maksudnya adalah usaha yang berkah atau halal. Sehingga pertanyaan dalam hadits di atas dimaksudkan ‘manakah pekerjaan yang paling diberkahi?’
Ada yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata,
Umar bin Khottob pernah memperingatkan orang-orang yang tidak paham fikih jual beli agar tidak berjualan di pasar. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
Seorang yang hendak
berdagang dan menerjuni dunia bisnis hendaknya membekali diri dengan ilmu agama
yang mumpuni terlebih dulu. Minimal yang wajibnya sudah dipahami seputar jual
beli yang terlarang misalnya. Karena kalau bekal ilmu seperti ini tidak
dimiliki, maka hanyalah kesia-siaan yang didapati.
Mu'adz bin Jabal
berkata,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
"Ilmu adalah
pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang ilmu.”[1]
Ibnu Taimiyah berkata,
"Niat dan amalan jika tidak didasari dengan ilmu, maka yang ada hanyalah
kebodohan dan kesesatan, serta memperturut hawa nafsu. Itulah beda antara orang
Jahiliyah dan seorang muslim."[2]
Imam Bukhari, di
awal-awal kitab shahihnya, beliau membawakan bab, “Al ‘ilmu qoblal qouli wal
‘amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat).” Setelah itu beliau membawakan firman Allah Ta’ala,
"Maka ilmuilah (ketahuilah)!
Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu" (QS. Muhammad: 19). Lalu Imam Bukhari mengatakan,
“Dalam ayat ini, Allah memerintahkan memulai dengan ilmu sebelum amalan.”
Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu,
sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu harus
ada lebih dahulu sebelum beramal.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah
berdalil dengan surat Muhammad ayat 19 untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal
ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan
biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca
ayat (yang artinya), “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”,
lalu beliau mengatakan,
أَلَمْ تَسْمَع أَنَّهُ بَدَأَ بِهِ فَقَالَ : " اِعْلَمْ
" ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَمَلِ ؟
“Tidakkah engkau
mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian
Allah memerintahkan untuk beramal?”[3]
Ibnul Munir rahimahullah
menjelaskan
maksud Imam Bukhari di atas,
أَرَادَ بِهِ أَنَّ الْعِلْم شَرْط فِي صِحَّة الْقَوْل وَالْعَمَل ،
فَلَا يُعْتَبَرَانِ إِلَّا بِهِ ، فَهُوَ مُتَقَدِّم عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُ
مُصَحِّح لِلنِّيَّةِ الْمُصَحِّحَة لِلْعَمَلِ
[1] Majmu' Al Fatawa, 28: 136.
[2] Idem.
[3]
Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 1: 160.
[4] Idem.