Kamis, 10 November 2022

Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)

Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit  harus melihat beberapa kriteria.  Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.

Jual beli daging dengan hewan

Tidak boleh melakukan jual beli semacam ini. Yang mesti dilakukan, terlebih dahulu hewan tersebut bersih dari tulang, setelah itu boleh ditukar dengan daging. Jika terjadi kelebihan takaran atau timbangan, maka terjadilah riba fadhel. Contohnya adalah jual beli kambing yang masih hidup ditukar dengan daging kambing.

Dari Sa’id bin Al Musayyib, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ اللَّحْمِ بِالْحَيَوَانِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli daging dan hewan” (HR. Malik dalam muwatho’nya 2: 655, Al Baihaqi 5: 296, Hakim dalam mustadroknya 5: 357. Al Baghowi mengatakan bahwa hadits Ibnul Musayyib meskipun mursal, namun dikuatkan dengan amalan sahabat. Imam Syafi’i sendiri menganggap hasan hadits mursal dari Sa’id bin Al Musayyib. Lihat Syarh As Sunnah 8: 77). 

Demikian sobat jika ada yang kurang dimengerti atau ada yang ingin ditanyakan, silahkan berkomentar ya!
Sumber : Panduan Fikih Jual Beli - Muhammad Abduh Tuasikal

Jual beli muzabanah dan muhaqolah

Muzabanah adalah setiap jual beli pada barang yang tidak diketahui takaran, timbangan atau jumlahnya ditukar dengan barang lain yang sudah jelas takarannya, timbangan atau jumlahya. Contohnya adalah menukar kurma yang sudah dikilo dengan kurma yang masih di pohon. Di sini terdapat riba karena tidak jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang ribawi yang sejenis harus tunai dan takarannya harus sama.

Selasa, 11 Oktober 2022

Hukum Jual Beli Tawarruq

Mayoritas ulama membolehkan jual beli tawarruq, terserah ia menamakannya dengan tawarruq (sebagaimana dalam madzhab Hambali), atau ia menamakannya dengan istilah lain (bagi ulama selain Hanabilah). Alasan mereka yang membolehkan adalah keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَحَلَّ اللَّهُ البَيْعَ

Allah menghalalkan jual beli.” (QS. Al Baqarah: 275)

Alasan lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا

Janganlah kamu melakukannya, juallah semua kurma itu dengan dirham kemudian beli dengan dirham pula”.[1] Hadits ini dimaksudkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan menukar langsung kurma kualitas bagus dan kurma kualitas rendah dengan takaran yang berbeda, artinya harus takarannya sama dan kontan. Sedangkan kalau kurma yang jelek kita jual dulu dan dapat sejumlah uang, lalu kita beli kurma bagus, maka ini


[1] HR. Bukhari no. 4244, 4245 dan Muslim no. 1593, dari Abu Sa’id Al Khudri dan Abu Hurairah.

dibolehkan. Ini artinya jika dalam satu transaksi tidak nampak bentuk dan maksud riba, maka tidak ada masalah. Sama halnya dengan jual beli tawarruq, sama sekali tidak ada bentuk riba di dalamnya.[1]

Penutup

Sungguh berbeda dua macam jual beli tersebut. Perbedaan keduanya terlihat jelas. Jual beli ‘inah, kita menjual dan membeli lagi pada pihak yang sama. Sedangkan jual beli tawarruq, membeli dan menjualnya pada pihak yang berbeda. Sehingga dari sini jelas hukumnya berbeda. Jual beli ‘inah jelas mengandung trik riba.

Catatan yang perlu diperhatikan bagi orang yang ingin melaksanakan transaksi tawarruq adalah:

  1. Karena tawarruq ada unsur utang piutang, maka seharusnya dilakukan dalam keadaan butuh sebagaimana juga dalam hal berutang.[2]
  2. Hendaknya barang yang dijual (setelah sebelumnya dibeli tidak tunai), benar-benar telah menjadi milik utuh si penjual, artinya benar-benar ia miliki dan kuasai, bukan dikuasai atau berada di pihak lain.[3]

Pembahasan tawarruq ini juga menunjukkan bahwa barang yang sudah dibeli secara kredit sudah menjadi milik pembeli seutuhnya. Coba lihat bagaimana kelirunya perkreditan yang ada di negeri kita. Ketika kita membeli motor secara kredit, pihak perkreditan masih menganggap bahwa motor tersebut tetap miliknya. Maka apa yang terjadi jika sudah jatuh tempo pelunasan, motor masih belum dilunasi? Motor tersebut akan ditarik dari pihak pembeli. Padahal yang tepat, motor yang sudah dibeli secata kredit sudah jadi milik pembeli, bukan lagi milik penjual walaupun itu dibeli secara tidak tunai (alias utang).



[1] Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim melarang jual beli tawarruq. Namun yang lebih tepat adalah penjelasan di atas.

[3] Lihat bahasan Ustadz Abu Mu’awiyah di sini: http://al-atsariyyah.com/masalah-at-tawarruq.html

Demikian sobat jika ada yang kurang dimengerti atau ada yang ingin ditanyakan, silahkan berkomentar ya!

Hukum Jual Beli 'Inah

Hukum Jual Beli ‘Inah

Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau mungkin hanya melihat dari zhohir akad, menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:

Pertama: Untuk menutup jalan pada transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, itu sama saja membolehkan kita menukarkan uang 10 juta dengan 5 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.

Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Jika kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.”[1]


[1] HR. Abu Daud no. 3462. Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 9/242

Demikian sobat jika ada yang kurang dimengerti atau ada yang ingin ditanyakan, silahkan berkomentar ya!