Mayoritas ulama
membolehkan jual beli tawarruq, terserah ia menamakannya dengan tawarruq (sebagaimana
dalam madzhab Hambali), atau ia menamakannya dengan istilah lain (bagi ulama
selain Hanabilah). Alasan mereka yang membolehkan adalah keumuman firman Allah
Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللَّهُ
البَيْعَ
“Allah menghalalkan
jual beli.” (QS. Al Baqarah: 275)
Alasan lainnya lagi
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ، ثُمَّ
ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا
[1] HR. Bukhari no. 4244, 4245 dan Muslim no. 1593, dari Abu
Sa’id Al Khudri dan Abu Hurairah.
dibolehkan. Ini artinya
jika dalam satu transaksi tidak nampak bentuk dan maksud riba, maka tidak ada
masalah. Sama halnya dengan jual beli tawarruq, sama sekali tidak ada bentuk
riba di dalamnya.[1]
Penutup
Sungguh berbeda dua
macam jual beli tersebut. Perbedaan keduanya terlihat jelas. Jual beli ‘inah,
kita menjual dan membeli lagi pada pihak yang sama. Sedangkan jual beli
tawarruq, membeli dan menjualnya pada pihak yang berbeda. Sehingga dari sini
jelas hukumnya berbeda. Jual beli ‘inah jelas mengandung trik riba.
Catatan yang perlu
diperhatikan bagi orang yang ingin melaksanakan transaksi tawarruq adalah:
- Karena tawarruq ada unsur utang piutang, maka seharusnya dilakukan
dalam keadaan butuh sebagaimana juga dalam hal berutang.[2]
- Hendaknya barang yang dijual (setelah sebelumnya dibeli tidak tunai),
benar-benar telah menjadi milik utuh si penjual, artinya benar-benar ia
miliki dan kuasai, bukan dikuasai atau berada di pihak lain.[3]
Pembahasan tawarruq ini
juga menunjukkan bahwa barang yang sudah dibeli secara kredit sudah menjadi
milik pembeli seutuhnya. Coba lihat bagaimana kelirunya perkreditan yang ada di
negeri kita. Ketika kita membeli motor secara kredit, pihak perkreditan masih
menganggap bahwa motor tersebut tetap miliknya. Maka apa yang terjadi jika
sudah jatuh tempo pelunasan, motor masih belum dilunasi? Motor tersebut akan
ditarik dari pihak pembeli. Padahal yang tepat, motor yang sudah dibeli
secata kredit sudah jadi milik pembeli, bukan lagi milik penjual walaupun itu
dibeli secara tidak tunai (alias utang).
[1] Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim melarang jual
beli tawarruq. Namun yang lebih tepat adalah penjelasan di atas.
[2] Baca tentang Bahaya Utang di rumaysho.com: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/1739-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html
[3] Lihat bahasan Ustadz Abu Mu’awiyah di sini: http://al-atsariyyah.com/masalah-at-tawarruq.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Ilmunya bermanfaat, mohon untuk menyebar 1 kebaikan apa saja ke yang lain, direkomendasikan untuk bersedekah berapapun jumlahnya, semoga ke depan urusannya semakin dipermudah. Jika ingin berpartisipasi dalam amal jariah dengan menyebar kebaikan dan hal positif lainnya, atau mentraktir segelas kopi dapat mengirimkan Donasinya ke Rek BSI 7052259422 an S***** M******. Jazakallah Khairan Katsiraa