Muzabanah adalah setiap jual beli pada barang yang tidak diketahui takaran, timbangan atau jumlahnya ditukar dengan barang lain yang sudah jelas takarannya, timbangan atau jumlahya. Contohnya adalah menukar kurma yang sudah dikilo dengan kurma yang masih di pohon. Di sini terdapat riba karena tidak jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang ribawi yang sejenis harus tunai dan takarannya harus sama.
Kamis, 10 November 2022
Jual beli muzabanah dan muhaqolah

Selasa, 11 Oktober 2022
Hukum Jual Beli Tawarruq
Mayoritas ulama
membolehkan jual beli tawarruq, terserah ia menamakannya dengan tawarruq (sebagaimana
dalam madzhab Hambali), atau ia menamakannya dengan istilah lain (bagi ulama
selain Hanabilah). Alasan mereka yang membolehkan adalah keumuman firman Allah
Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللَّهُ
البَيْعَ
“Allah menghalalkan
jual beli.” (QS. Al Baqarah: 275)
Alasan lainnya lagi
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ، ثُمَّ
ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا
[1] HR. Bukhari no. 4244, 4245 dan Muslim no. 1593, dari Abu
Sa’id Al Khudri dan Abu Hurairah.
dibolehkan. Ini artinya
jika dalam satu transaksi tidak nampak bentuk dan maksud riba, maka tidak ada
masalah. Sama halnya dengan jual beli tawarruq, sama sekali tidak ada bentuk
riba di dalamnya.[1]
Penutup
Sungguh berbeda dua
macam jual beli tersebut. Perbedaan keduanya terlihat jelas. Jual beli ‘inah,
kita menjual dan membeli lagi pada pihak yang sama. Sedangkan jual beli
tawarruq, membeli dan menjualnya pada pihak yang berbeda. Sehingga dari sini
jelas hukumnya berbeda. Jual beli ‘inah jelas mengandung trik riba.
Catatan yang perlu
diperhatikan bagi orang yang ingin melaksanakan transaksi tawarruq adalah:
- Karena tawarruq ada unsur utang piutang, maka seharusnya dilakukan
dalam keadaan butuh sebagaimana juga dalam hal berutang.[2]
- Hendaknya barang yang dijual (setelah sebelumnya dibeli tidak tunai),
benar-benar telah menjadi milik utuh si penjual, artinya benar-benar ia
miliki dan kuasai, bukan dikuasai atau berada di pihak lain.[3]
Pembahasan tawarruq ini
juga menunjukkan bahwa barang yang sudah dibeli secara kredit sudah menjadi
milik pembeli seutuhnya. Coba lihat bagaimana kelirunya perkreditan yang ada di
negeri kita. Ketika kita membeli motor secara kredit, pihak perkreditan masih
menganggap bahwa motor tersebut tetap miliknya. Maka apa yang terjadi jika
sudah jatuh tempo pelunasan, motor masih belum dilunasi? Motor tersebut akan
ditarik dari pihak pembeli. Padahal yang tepat, motor yang sudah dibeli
secata kredit sudah jadi milik pembeli, bukan lagi milik penjual walaupun itu
dibeli secara tidak tunai (alias utang).
[1] Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim melarang jual
beli tawarruq. Namun yang lebih tepat adalah penjelasan di atas.
[2] Baca tentang Bahaya Utang di rumaysho.com: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/1739-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html
[3] Lihat bahasan Ustadz Abu Mu’awiyah di sini: http://al-atsariyyah.com/masalah-at-tawarruq.html

Hukum Jual Beli 'Inah
Hukum Jual Beli ‘Inah
Mengenai hukum jual beli
‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut
yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak
membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy
Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau mungkin hanya
melihat dari zhohir akad, menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak
memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah
dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan.
Di antara alasannya:
Pertama: Untuk menutup jalan pada transaksi riba.
Jika jual beli ini dibolehkan, itu sama saja membolehkan kita menukarkan uang
10 juta dengan 5 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam
hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ
وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ
الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى
دِينِكُمْ
[1] HR. Abu Daud no. 3462. Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad
Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 9/242

Senin, 10 Oktober 2022
Makna Lahaulawalaquwwata illa billah

Penyebab Utama masuk surga
