Senin, 10 Oktober 2022
Makna Lahaulawalaquwwata illa billah

Penyebab Utama masuk surga

Definisi Jual Beli ‘Inah
Ada beberapa definisi
mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan para ulama. Definisi yang paling
masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai, kemudian ia
membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah.
Contoh: Sufyan menjual motor pada pihak A seharga
15 juta dan pembayarannya dilunasi sampai dua tahun ke depan. Belum juga
dilunasi oleh si A, Sufyan membeli lagi motor tersebut dari si A dengan harga
lebih rendah yaitu 13 juta, dengan dibayar kontan.
Sebenarnya yang terjadi
adalah si A butuh uang 13 juta. Jual beli motor hanyalah perantara namun
maksudnya adalah untuk meminjam uang. Untuk maksud peminjaman ini, Sufyan yang ingin meminjamkan uang pada si A,
menjualkan motor padanya. Lalu Sufyan beli lagi motor tadi dari si A dengan
harga lebih rendah dari penjualan. Sama saja maksudnya adalah Sufyan
meminjamkan uang pada si A 13 juta, nanti dikembalikan 15 juta, sedangkan motor
hanya untuk mengelabui saja.
Moga paham lagi dengan gambaran di atas.
Sehingga dari sini
sebenarnya yang terjadi pada jual beli ‘inah adalah utang dengan kedok jual
beli dan bermaksud mencari untung dari utang tersebut.
Padahal ada suatu kaedah
para fuqoha yang ini dibangun di atas dalil,
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap utang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”
Padahal dosa riba telah jelas disebutkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Definisi Jual Beli Tawarruq
Definisi Jual Beli Tawarruq
Yang dimaksud jual beli tawarruq
secara istilah adalah membeli suatu barang secara tidak tunai kemudian
menjualnya lagi dengan tunai pada orang lain (bukan pada penjual pertama)
dengan harga yang lebih murah dari harga saat dibeli.
Contoh: Ahmad membeli motor secara kredit (dengan
kredit yang halal tentunya)[1]
dari pihak A seharga 15 juta. Kemudian masih dalam tempo pelunasan utang, Ahmad
sudah menjual motor tersebut pada pihak B dengan harga lebih murah, yaitu 13
juta.
Jadi sebenarnya maksud
Ahmad adalah ia butuh uang 13 juta. Namun ia hanya punya uang untuk cicil motor
sebesar 1 juta. Jadi ia membeli motor dengan uang cicilan 1 juta tadi, lalu
masih dalam waktu pelunasan kredit, ia jual motor itu lagi pada pihak B dengan
harga lebih murah, 13 juta secara kontan. Moga paham dengan gambaran ini.
Istilah jual beli tawarruq
cuma kita temukan pada istilah pakar fiqih Hambali. Ulama madzhab lainnya
memasukkan pembahasan jual beli di atas pada pembahasan “bai’ al ‘inah” (jual
beli ‘inah).
[1] Di sini kami maksudkan kredit yang halal karena ada
bentuk kredit motor yang bermasalah (yang mengandung riba). Lihat bahasan
rumaysho.com di sini: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2816-kredit-lewat-pihak-ketiga-bank.html

Jual Beli yang Mengandung Riba
Setelah kita
memahami hal di atas, selanjutnya kita akan melihat beberapa contoh jual beli
yang mengandung riba yaitu sebagai berikut:
1. Jual beli ‘inah
Ada beberapa
definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi
yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada
seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai
dengan harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali
supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik
tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang
tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu
secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke
depan”. Sebulan setelah itu, si empunya
tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan
harga 170 juta secara tunai.”
Artinya di sini,
si pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang
170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara.
Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang
disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap
piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum
jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual
beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad
tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam
Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat
dari akad secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan
tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah
dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di
antara alasannya:
Pertama: Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini
dibolehkan, sama saja membolehkan kita menukarkan uang 200 juta dengan 170 juta
namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ
وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ
الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا
إِلَى دِينِكُمْ
“Jika
kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk
dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan
pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan
menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian
hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:
242).
Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah
sangat menekankan bahwa ada dua jual beli yang mesti dibedakan yaitu jual beli
tawarruq dan jual beli ‘inah. Intinya, maksud beliau hafizhohullah, dua macam
jual beli tersebut berbeda.[1]
[1] Syaikh Sholeh Al Fauzan terangkan hal ini dalam Durus
Fiqih Kitab “Al Muntaqo” (19 Muharram 1432 H).
