Setelah kita
memahami hal di atas, selanjutnya kita akan melihat beberapa contoh jual beli
yang mengandung riba yaitu sebagai berikut:
1. Jual beli ‘inah
Ada beberapa
definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi
yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada
seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai
dengan harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali
supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik
tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang
tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu
secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke
depan”. Sebulan setelah itu, si empunya
tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan
harga 170 juta secara tunai.”
Artinya di sini,
si pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang
170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara.
Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang
disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap
piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum
jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual
beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad
tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam
Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat
dari akad secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan
tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah
dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di
antara alasannya:
Pertama: Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini
dibolehkan, sama saja membolehkan kita menukarkan uang 200 juta dengan 170 juta
namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ
وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ
الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا
إِلَى دِينِكُمْ
“Jika
kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk
dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan
pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan
menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian
hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:
242).
Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah
sangat menekankan bahwa ada dua jual beli yang mesti dibedakan yaitu jual beli
tawarruq dan jual beli ‘inah. Intinya, maksud beliau hafizhohullah, dua macam
jual beli tersebut berbeda.[1]
[1] Syaikh Sholeh Al Fauzan terangkan hal ini dalam Durus
Fiqih Kitab “Al Muntaqo” (19 Muharram 1432 H).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Ilmunya bermanfaat, mohon untuk menyebar 1 kebaikan apa saja ke yang lain, direkomendasikan untuk bersedekah berapapun jumlahnya, semoga ke depan urusannya semakin dipermudah. Jika ingin berpartisipasi dalam amal jariah dengan menyebar kebaikan dan hal positif lainnya, atau mentraktir segelas kopi dapat mengirimkan Donasinya ke Rek BSI 7052259422 an S***** M******. Jazakallah Khairan Katsiraa