Yang perlu dikenal lebih awal dalam jual beli adalah mengenai ijab qobul. Dalam ijab qobul berarti ada yang menyatakan menjual dan ada yang menerima. Apakah bentuknya harus dalam ucapan (perkataan) ataukah boleh pula hanya sekedar perbuatan tanpa kata-kata?
Sebagian ulama yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali menyatakan bahwa ada
dua bentuk akad jual beli, yaitu perkataan (ucapan) dan perbuatan.
Bentuk perkataan
semisal dengan ucapan penjual “saya jual barang ini padamu”, dan pembeli
menerima dengan ucapan “saya beli barang ini darimu atau saya terima”. Sedangkan
bentuk perbuatan dikenal dengan istilah “mu’athoh”. Bentuknya adalah
seperti pembeli cukup meletakkan uang dan penjual menyerahkan barangnya.
Transaksi mu’athoh ini biasa kita temukan dalam transaksi di pasar,
supermarket, dan mall-mall. Transaksi mu’athoh bisa dalam tiga bentuk:
- Si penjual mengatakan “saya jual”, dan si pembeli cukup mengambil
barang dan menyerahkan uang.
- Si pembeli mengatakan “saya beli”, dan si penjual menyerahkan
barang dan menerima uang.
- Si penjual dan pembeli tidak mengatakan ucapan apa-apa, si pembeli
cukup menyerahkan uang dan si penjual menyerahkan barang.[1]
Ulama Syafi’iyah
melarang bentuk perbuatan dalam ijab qobul. Mereka beralasan bahwa perbuatan
tidak menunjukkan adanya ‘iwadh atau timbal balik. Sehingga jual beli
mu’athoh semacam ini menurut ulama Syafi’iyah tidaklah sah. Asy Syairozi
mengatakan, "Tidaklah sah akad jual beli kecuali adanya ijab dan qobul.
Adapun akad mu'athoh tidaklah sah dan tidak disebut jual beli." Imam Nawawi
menegaskan tentang perkara ini, "Pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi'i, jual beli
tidaklah sah kecuali dengan adanya ijab dan qobul. Sedangkan jual beli mu'athoh
tidaklah sah baik bentuknya sedikit maupun banyak."[2]
Pendapat terkuat
dalam hal ini adalah ijab qobul boleh dan sah dengan perbuatan dengan alasan:
Pertama, Allah
membolehkan jual beli dan tidak membatasinya dengan bentuk akad tertentu. Allah
Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).
[1] Lihat
Al Mulakhosh Al Fiqhiy karya guru penulis, Syaikh Sholeh Al
Fauzan,
2: 8
[2] Lihat
Al Majmu’, 9: 115-116.
Kedua, menurut ‘urf (anggapan masyarakat) dengan si
pembeli menerima barang dan penjual mengambil uang, maka itu sudah menunjukkan ridha
keduanya. Jika dengan perkataan dianggap ridha, maka dengan perbuatan bisa
teranggap pula. Yang penting
didasari saling ridha, itulah maksudnya karena Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka (saling ridha) di antara kalian” (QS. An Nisa’: 29).[1]
Sehingga dari sini mengenai jual beli yang berlaku di pasar, supermarket,
dan mall tanpa adanya ucapan apa-apa, cukup adanya saling ridha dengan si
penjual menyerahkan barang dan si pembeli menyerahkan uang, maka itu sudah
dianggap sah.
Bentuk transaksi
mu’athoh di zaman modern:
- Jual beli melalui mesin yang berisi minuman penyegar, aqua, atau
minuman bersoda dengan cukup memasukan sejumlah uang kertas ke dalam
mesin.
- Transaksi jual beli melalui mesin ATM dengan mentransfer sejumlah uang.
- Pemesanan dan pembelian tiket melalui internet.
- Jual beli saham melalui internet.
- Sahnya jual beli melalui tulisan seperti email, surat, dan sms.[2]
Mengenai sahnya ijab qobul lewat tulisan bisa kita ambil dari kaedah para
ulama,
الكِتَابُ كَالْخِطَابِ
"Tulisan dinilai sama seperti ucapan."[3]
Ibnul Qayyim berkata, "Umat Islam terus menganggap sahnya tulisan.
Para sahabat pun menganggap boleh beramal dengan tulisan tersebut, begitu pula
generasi setelah mereka."[4]
Untuk lafazh ijab qobul sendiri tidaklah disyari'atkan dengan lafazh
tertentu. Karena lafazh yang terucap bukanlah dimaksudkan untuk ta'abbud
(ibadah). Segala lafazh yang menunjukkan lafazh ijab qobul, maka itu sah.[5]
[1] Lihat
An Niyat, 2: 59-60.
[2] Lihat
Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 782 dan Shahih Fiqh Sunnah, 4: 259.
[3] Al Qowa'idul Fiqhiyyah Al Mustakhrojah min Kitab I'lamil
Muwaqqi'in, 1: 472.
[4] I'lamul Muwaqqi'in, 2: 380.
[5] Syarhul Mumthi', 8: 105-106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Ilmunya bermanfaat, mohon untuk menyebar 1 kebaikan apa saja ke yang lain, direkomendasikan untuk bersedekah berapapun jumlahnya, semoga ke depan urusannya semakin dipermudah. Jika ingin berpartisipasi dalam amal jariah dengan menyebar kebaikan dan hal positif lainnya, atau mentraktir segelas kopi dapat mengirimkan Donasinya ke Rek BSI 7052259422 an S***** M******. Jazakallah Khairan Katsiraa