Senin, 12 September 2022

Syarat Jual Beli

Jual beli sama seperti amalan lainnya memiliki syarat yang perlu diperhatikan sehingga bisa membuat jual beli tersebut sah. Syarat dalam jual beli sendiri mencakup: (1) syarat yang berkaitan dengan penjual dan pembeli, dan (2) syarat yang berkaitan dengan barang atau alat tukar jual beli.

 Syarat yang Berkaitan dengan Penjual dan Pembeli

 Ada tiga syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad jual beli:

Pertama:  Ridha antara penjual dan pembeli

Jual beli tidaklah sah jika di dalamnya terdapat paksaan. Jual beli baru sah jika ada saling ridha antara penjual dan pembeli sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama-suka (saling ridha) di antara kalian” (QS. An Nisa’: 29).

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya jual beli dituntut adanya keridhaan.[1]

Dalam hadits lain disebutkan,

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridha pemiliknya.[2]

Namun jika ada pemaksaan dalam jual beli dengan cara yang benar, semisal seorang hakim memutuskan untuk memaksa menjual barang orang yang jatuh pailit karena utang untuk melunasi utang-utangnya, maka semisal itu dibolehkan.

Kedua: Orang yang melakukan akad jual beli diizinkan untuk membelanjakan harta.



[1] HR. Ibnu Majah no. 2185. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi.

Mereka yang diizinkan adalah: (1) merdeka, (2) mukallaf (telah terbebani syari’at), (3) memiliki sifat rusydu (dapat membelanjakan harta dengan baik).

Adapun anak kecil, orang yang kurang akal (idiot) dan yang tidak bisa membelanjakan harta dengan benar, termasuk juga orang gila tidak boleh melakukan jual beli, begitu pula dengan seorang budak kecuali dengan izin tuannya.

Catatan: Rusydu menurut mayoritas ulama ada ketika telah mencapi masa baligh. Ketika telah mencapai baligh atau telah tua renta belum memiliki sifat rusydu, maka keadaannya di-hajr, yaitu diboikot dari melakukan jual beli. Sifat rusydu ini datang bersama masa baligh. Namun pada sebagian orang sifat rusydu ini datang telat, ada yang baru memiliki sifat tersebut sebentar atau lama setelah baligh.[1]

Detil Jual Beli oleh orang gila

[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 22: 212-214.

Ketiga: Orang yang melakukan akad adalah sebagai pemilik barang atau alat tukar, atau bertindak sebagai wakil. Yang bukan pemilik tidak boleh menjual yang bukan miliknya kecuali jika telah mendapatkan izin dari pemilik setelah itu. Yang terakhir ini dikenal dengan jual beli fudhuliy.

Mengenai syarat harta harus dimiliki dapat dilihat pada hadits Hakim bin Hizam, di mana ia pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia memintaku untuk menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya dari pasar?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menjawab, "Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu."[1]

Hadits Urwah yang penulis sebutkan nanti menunjukkan bahwa jual beli boleh diwakilkan pada yang lain.

Syarat yang Berkaitan dengan Barang yang Dijual

 

Pertama: Barang yang dijual adalah barang yang mubah pemanfaatannya

Dari sini, barang yang haram pemanfaatannya seperti khamar, babi, dan alat musik berarti tidak boleh diperdagangkan.

Mengenai apa saja barang yang haram diperdagangkan akan dibahas dalam bab selanjutnya.

Kedua: Barang yang dijual dan uang yang akan diberi bisa diserahterimakan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ

"Siapa yang membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya lagi sampai ia menakarnya."[1]

Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ



[1] HR. Muslim no. 1528.



[1] HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613, Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no. 2187. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.”[1]

Ibnu ‘Umar mengatakan,

وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.

“Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya.[2]

Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,

كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.

“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.[3]

Begitu pula larangan jual beli di atas dapat dilihat dari perbincangan Ibnu 'Umar dan Zaid bin Tsabit berikut ini,

ابْتَعْتُ زَيْتًا فِى السُّوقِ فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِى لَقِيَنِى رَجُلٌ فَأَعْطَانِى بِهِ رِبْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِى بِذِرَاعِى فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لاَ تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ.

"Aku pernah membeli minyak zaitun di pasar. Ketika sudah terjadi akad denganku, ada seseorang yang menemuiku dan ia ingin memberikan keuntungan yang menggiurkan. Aku lantas ingin melakukan akad dengannya, namun tiba-tiba di belakangku ada yang memegang tanganku. Aku pun menoleh, ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit. Ia mengatakan padaku, "Janganlah engkau menjualnya di tempat engkau membelinya hingga barang tersebut berpindah ke rumahmu. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual



[1] HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525.

[2] HR. Muslim no. 1527.

[3] HR. Muslim no. 1527.

suatu barang di tempat barang tersebut dibeli hingga dipindahkan di rumah mereka."[1]  Hadits ini berlaku umum untuk barang apa saja, makanan, hewan dan lainnya.

Bentuk serah terima di sini tergantung dari jenis barang yang dijual dan melihat pada 'urf (anggapan masyarakat setempat). Bisa jadi serah terimanya adalah dengan ditimbang terlebih dahulu. Ada yang cukup dengan dipegang dan dibawa seperti pada perhiasan. Ada yang dengan penyerahan kunci.[2]

Bentuk pelanggaran dalam syarat jual beli ini adalah seperti yang terjadi dalam jual beli kredit dengan deskripsi sebagai berikut:

Pihak bank menelpon showroom dan berkata "Kami membeli mobil X dari Anda." Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: "Silakan Anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya."

Bank pada saat itu menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna. Dan kalau dilacak hakekatnya bank ingin meminjamkan uang. Secara regulasi pun, bank di negeri ini tidak boleh melakukan transaksi jual beli. Yang ada adalah meminjamkan uang dan mencari untung, yang hakekat sebenarnya adalah riba.

Contoh lain yang terlarang dalam masalah ini:

-       Menjual budak yang kabur

-       Menjual unta yang kabur

-       Menjual burung yang terbang di udara

-       Menjual barang yang telah dirampas bagi orang yang mampu mengambilnya kembali

-       Menjual ikan dalam kolam

Jika barang tidak mampu diserahterimakan, maka biasa dijual dengan harga yang tidak terlalu tinggi. Jika pembeli bisa mendapatkannya, maka itu beruntung sekali. Namun jika tidak, maka ia akan menderita kerugian. Inilah yang disebut maysir atau judi. Bentuk maysir inilah yang diperintahkan untuk dijauhi sebagaimana disebut dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan...



[1] HR. Abu Daud no. 3499 dan Ahmad 5: 191. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

[2] Minhatul 'Allam, 6: 81.

...syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90). Bentuk di atas juga termasuk ghoror, yaitu adanya ketidakjelasan.[1]

Namun jika barang-barang di atas mampu untuk diserahterimakan semisal kebiasaan burung yang terbang di udara pasti akan kembali ke sangkarnya, atau ikan yang sudah dijaring sehingga mudah ditangkap, atau si pembeli mampu menangkap budak atau unta yang kabur, maka jual beli tersebut menjadi sah.

Ketiga: Barang dan uang diketahui dengan jelas dan tidak boleh ada unsur ghoror (ketidak jelasan)

Dari sini, tidak boleh membeli barang yang tidak bisa dilihat atau tidak diketahui, seperti membeli janin yang masih dalam kandungan, atau membeli susu yang masih dalam kambingnya.


[1] Lihat Al Mukhtashor fil Mu’amalat, hal. 10-11.


Demikian sobat jika ada yang kurang dimengerti atau ada yang ingin ditanyakan, silahkan berkomentar ya!

Sumber : Panduan Fikih Jual Beli - Muhammad Abduh Tuasikal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Ilmunya bermanfaat, mohon untuk menyebar 1 kebaikan apa saja ke yang lain, direkomendasikan untuk bersedekah berapapun jumlahnya, semoga ke depan urusannya semakin dipermudah. Jika ingin berpartisipasi dalam amal jariah dengan menyebar kebaikan dan hal positif lainnya, atau mentraktir segelas kopi dapat mengirimkan Donasinya ke Rek BSI 7052259422 an S***** M******. Jazakallah Khairan Katsiraa