Jual beli sama seperti amalan lainnya memiliki syarat yang perlu diperhatikan sehingga bisa membuat jual beli tersebut sah. Syarat dalam jual beli sendiri mencakup: (1) syarat yang berkaitan dengan penjual dan pembeli, dan (2) syarat yang berkaitan dengan barang atau alat tukar jual beli.
Syarat yang Berkaitan dengan Penjual dan Pembeli
Ada tiga syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad jual beli:
Pertama: Ridha antara penjual dan pembeli
Jual beli tidaklah sah jika di dalamnya
terdapat paksaan. Jual beli baru sah jika ada saling ridha antara penjual dan
pembeli sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka sama-suka (saling ridha) di antara kalian” (QS. An Nisa’: 29).
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli dituntut adanya keridhaan.”[1]
Dalam hadits lain disebutkan,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang kecuali
dengan ridha pemiliknya.”[2]
Namun jika ada pemaksaan dalam jual beli
dengan cara yang benar, semisal seorang hakim memutuskan untuk memaksa menjual
barang orang yang jatuh pailit karena utang untuk melunasi
utang-utangnya, maka semisal itu dibolehkan.
Kedua:
Orang yang melakukan akad jual beli diizinkan untuk membelanjakan harta.
[1] HR. Ibnu Majah no. 2185. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih.
[2] HR.
Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih
lighoirihi.
Mereka yang diizinkan adalah: (1) merdeka,
(2) mukallaf (telah terbebani syari’at), (3) memiliki sifat rusydu (dapat
membelanjakan harta dengan baik).
Adapun anak kecil, orang
yang kurang akal (idiot) dan yang tidak bisa membelanjakan harta dengan benar, termasuk
juga orang gila tidak boleh melakukan jual beli, begitu pula dengan seorang
budak kecuali dengan izin tuannya.
Catatan: Rusydu menurut mayoritas ulama ada
ketika telah mencapi masa baligh. Ketika telah mencapai baligh atau telah tua
renta belum memiliki sifat rusydu, maka keadaannya di-hajr, yaitu diboikot dari melakukan
jual beli. Sifat rusydu ini datang bersama masa baligh. Namun
pada sebagian orang sifat rusydu ini datang telat, ada yang baru memiliki sifat tersebut sebentar atau lama setelah baligh.[1]
[1] Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 22: 212-214.
Ketiga:
Orang yang melakukan akad adalah sebagai pemilik barang atau alat tukar, atau
bertindak sebagai wakil. Yang bukan pemilik tidak boleh menjual yang
bukan miliknya kecuali jika telah mendapatkan izin dari pemilik setelah itu.
Yang terakhir ini dikenal dengan jual beli fudhuliy.
Mengenai syarat harta
harus dimiliki dapat dilihat pada hadits Hakim bin Hizam, di mana ia pernah
bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي
الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ
أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang
mendatangiku lalu ia memintaku untuk menjual
kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya
dari pasar?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menjawab,
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu."[1]
Hadits Urwah yang
penulis sebutkan nanti menunjukkan bahwa jual beli boleh diwakilkan pada yang
lain.
Syarat
yang Berkaitan dengan Barang yang Dijual
Pertama: Barang yang dijual adalah barang yang mubah pemanfaatannya
Dari sini, barang
yang haram pemanfaatannya seperti khamar, babi, dan alat musik berarti tidak boleh
diperdagangkan.
Mengenai apa saja barang yang haram diperdagangkan akan dibahas dalam bab
selanjutnya.
Kedua: Barang yang
dijual dan uang yang akan diberi bisa diserahterimakan
Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا فَلاَ
يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ
"Siapa yang
membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya lagi sampai ia menakarnya."[1]
Dari Ibnu ‘Abbas,
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ
يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
[1] HR.
Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613, Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no.
2187. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka
janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas
mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan
makanan.”[1]
Ibnu ‘Umar mengatakan,
وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ
الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ
نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.
“Kami biasa membeli bahan makanan dari orang
yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan
dari tempatnya.”[2]
Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga
mengatakan,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا
بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ
قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami.
Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah
dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.”[3]
Begitu pula larangan
jual beli di atas dapat dilihat dari perbincangan Ibnu 'Umar dan Zaid bin
Tsabit berikut ini,
ابْتَعْتُ زَيْتًا فِى السُّوقِ
فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِى لَقِيَنِى رَجُلٌ فَأَعْطَانِى بِهِ رِبْحًا
حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِى
بِذِرَاعِى فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لاَ تَبِعْهُ حَيْثُ
ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا
التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ.
"Aku pernah membeli minyak zaitun di pasar. Ketika sudah terjadi akad denganku, ada seseorang yang menemuiku dan ia ingin memberikan keuntungan yang menggiurkan. Aku lantas ingin melakukan akad dengannya, namun tiba-tiba di belakangku ada yang memegang tanganku. Aku pun menoleh, ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit. Ia mengatakan padaku, "Janganlah engkau menjualnya di tempat engkau membelinya hingga barang tersebut berpindah ke rumahmu. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual
[1]
HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525.
[2]
HR. Muslim no. 1527.
[3]
HR. Muslim no. 1527.
suatu barang di tempat
barang tersebut dibeli hingga dipindahkan di rumah mereka."[1]
Hadits ini berlaku umum untuk barang apa
saja, makanan, hewan dan lainnya.
Bentuk serah terima di sini tergantung dari
jenis barang yang dijual dan melihat pada 'urf (anggapan masyarakat
setempat). Bisa jadi serah terimanya adalah dengan ditimbang terlebih dahulu. Ada
yang cukup dengan dipegang dan dibawa seperti pada perhiasan. Ada yang dengan
penyerahan kunci.[2]
Bentuk pelanggaran dalam
syarat jual beli ini adalah seperti yang terjadi dalam jual beli kredit
dengan deskripsi sebagai berikut:
Pihak bank menelpon showroom dan berkata
"Kami membeli mobil X dari Anda." Selanjutnya pembayarannya dilakukan
via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: "Silakan Anda datang
ke showroom tersebut dan ambil mobilnya."
Bank pada saat itu menjual barang yang belum
diserahterimakan secara sempurna. Dan kalau dilacak hakekatnya
bank ingin meminjamkan uang. Secara regulasi pun, bank di negeri ini tidak
boleh melakukan transaksi jual beli. Yang ada adalah meminjamkan uang dan
mencari untung, yang hakekat sebenarnya adalah riba.
Contoh lain yang terlarang
dalam masalah ini:
- Menjual budak yang kabur
- Menjual unta yang kabur
- Menjual burung yang terbang di udara
- Menjual barang yang telah dirampas bagi orang yang
mampu mengambilnya kembali
- Menjual ikan dalam kolam
Jika barang tidak mampu diserahterimakan, maka biasa dijual dengan harga
yang tidak terlalu tinggi. Jika pembeli bisa mendapatkannya, maka itu beruntung
sekali. Namun jika tidak, maka ia akan menderita kerugian. Inilah yang disebut maysir
atau judi. Bentuk maysir inilah yang diperintahkan untuk dijauhi sebagaimana
disebut dalam ayat,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan...
[1]
HR. Abu Daud no. 3499 dan Ahmad 5: 191. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa
sanad hadits ini hasan.
[2] Minhatul 'Allam, 6: 81.
...syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90). Bentuk di atas juga termasuk ghoror, yaitu adanya ketidakjelasan.[1]
Namun jika
barang-barang di atas mampu untuk diserahterimakan semisal kebiasaan burung
yang terbang di udara pasti akan kembali ke sangkarnya, atau ikan yang sudah
dijaring sehingga mudah ditangkap, atau si pembeli mampu menangkap budak atau
unta yang kabur, maka jual beli tersebut menjadi sah.
Ketiga: Barang dan uang diketahui dengan jelas dan tidak boleh ada unsur ghoror (ketidak jelasan)
Demikian sobat jika ada yang kurang dimengerti atau ada yang ingin ditanyakan, silahkan berkomentar ya!
Sumber
: Panduan Fikih Jual Beli - Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Ilmunya bermanfaat, mohon untuk menyebar 1 kebaikan apa saja ke yang lain, direkomendasikan untuk bersedekah berapapun jumlahnya, semoga ke depan urusannya semakin dipermudah. Jika ingin berpartisipasi dalam amal jariah dengan menyebar kebaikan dan hal positif lainnya, atau mentraktir segelas kopi dapat mengirimkan Donasinya ke Rek BSI 7052259422 an S***** M******. Jazakallah Khairan Katsiraa