Air
bisa terbagi menjadi tiga:
a-
Air yang menjadi milik umum
Contohnya adalah air laut dan air sungai. Air
semacam ini tidaklah dimiliki pihak tertentu.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Pada dasarnya, Allah menciptakan air itu untuk dimanfaatkan bersama antara
manusia dan hewan. Allah menjadikan air sebagai minuman untuk semua
makhluk-Nya. Oleh karenanya, tidak ada orang yang lebih berhak atas air
daripada yang lain, meski sumber air tersebut ada di dekatnya.”[1]
Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإِ وَالْمَاءِ
وَالنَّارِ
“Kaum muslimin itu berserikat (dalam
kepemilikan) pada tiga hal: rerumputan (yang tumbuh di tanah tak bertuan), air
(air hujan, mata air, dan air sungai), dan kayu bakar (yang dikumpulkan manusia
dari pepohonan).”[2]
b- Air yang tertampung di sumur setelah
digali atau air hujan yang ditampung di suatu tempat milik seseorang. Orang
yang menampung itulah yang lebih berhak daripada orang lain. Namun ia tidak
boleh menjual air tersebut sebelum ditampung. Air jenis ini boleh dimanfaatkan
lebih dahulu, lalu diizinkan yang lain memanfaatkannya.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلأُ
[1] Zaadul Ma’ad, 5: 708.
[2] HR. Abu Daud no. 3477 dan Ahmad 5: 346.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih. Lihat penjelasan Al Baydhowi yang dinukil oleh Al Munawi
dalam Faidhul Qodir 6: 271.
[3] HR. Bukhari no. 2353 dan Muslim no. 1566.
c- Air yang telah dikumpulkan di wadah atau
kemasan. Air seperti ini sudah jadi milik perseorangan. Sebagaimana kayu bakar
yang dikumpulkan dan dipikul sudah jadi milik orang yang mengusahakan hal
tersebut. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan,
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ
حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ
يَمْنَعَهُ
“Seseorang mengumpulkan seikat kayu bakar
di punggungnya lebih baik dari seseorang yang meminta-minta lantas ia diberi
atau ada yang tidak memberi.”[1]
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma'ad [2] mengatakan, “Orang yang memasukkan air ke dalam wadah (kemasan) miliknya itu tidak termasuk yang terlarang dalam hadits. Air yang sudah kita masukkan ke dalam wadah milik kita itu semisal dengan barang-barang yang aslinya adalah milik umum namun sudah kita pindah ke dalam kekuasaan kita lalu dijual, semisal kayu bakar yang diambil dari hutan, seikat rumput yang kita kumpulkan, dan garam yang kita ambil dari laut.”[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika Ilmunya bermanfaat, mohon untuk menyebar 1 kebaikan apa saja ke yang lain, direkomendasikan untuk bersedekah berapapun jumlahnya, semoga ke depan urusannya semakin dipermudah. Jika ingin berpartisipasi dalam amal jariah dengan menyebar kebaikan dan hal positif lainnya, atau mentraktir segelas kopi dapat mengirimkan Donasinya ke Rek BSI 7052259422 an S***** M******. Jazakallah Khairan Katsiraa